Sabtu, 10 Maret 2012

Anak Diasuh Orang Lain Berpotensi Gangguan Mental

       Anak-anak yang dibesarkan oleh kerabat, dan bukan orang-tua mereka, menghadapi peningkatan resiko gangguan kesehatan mental dan fisik, kata beberapa peneliti AS.
       Para peneliti di University of Rochester School of Medicine and Dentistry mengambil kesimpulan tersebut setelah menganalisis data dari lebih 91.999 anak yang termasuk di dalam survei nasional 2007, demikian laporan HealthDay News, Minggu, sebagaimana diberitakan Oleh Xinhua-OANA.
Studi tersebut membandingkan anak-anak yang tinggal bersama kerabat mereka dengan anak yang dibesarkan setidaknya oleh salah satu dari orang-tua kandung mereka.
      Temuan itu memperlihatkan bahwa anak-anak yang tinggal bersama kerabat mereka, yang disebut "perawatan kerabat", memiliki kesehatan mental dan fisik yang secara keseluruhan buruk.
      Dibandingkan dengan anak-anak yang tinggal bersama orang-tua mereka, anak di dalam "perawatan kerabat" lebih mungkin adalah orang kulit hitam yang berusia di atas 9 tahun, memiliki asuransi kesehatan masyarakat dan tinggal di rumah tangga dengan penghasilan pada atau mendekati angka kemiskinan, kata para peneliti itu.
Seperti mereka yang tinggal di tempat perawatan, anak yang tinggal di dalam "perawatan kerabat" mengalami sejumlah masalah kesehatan, demikian kesimpulan studi tersebut.
    "Anak-anak yang tinggal di `perawatan kerabat` memiliki keperluan perawatan yang lebih khusus, gangguan kesehatan mental seperti gangguan hiperaktif/penurunan perhatian dan depresi dan gangguan gigi dibandingkan dengan anak-anak yang tinggal bersama orang-tua mereka," kata pemimpin peneliti Dr. Sara B. Eleoff di sekolah tersebut.
     "Anak-anak ini dan keluarga mereka mungkin memerlukan dukungan dan layanan tambahan," kata Eleoff.
     "Oleh karena itu, penyedia perawatan kesehatan, pendidik dan lembaga kesehatan masyarakat mesti menanyakan tentang situasi hidup anak-anak dan mempertimbangkan resiko keperluan khusus di kalangan anak-anak dalam `perawatan kerabat`," katanya.
      Sebanyak 2,8 juta anak di Amerika Serikat diperkirakan tinggal di dalam "perawatan kerabat", dan sebanyak 800.000 di tempat perawatan umum.
      Sedangkan Ria Enes menyampaikan pesan moral bahwa akibat salah salah asuh, orang tua bisa rusak mental anak, bersama boneka Susan saat menghibur sekitar seribu anak dalam acara Kumpul Seribu Bocah yang digelar oleh Dinas Pendidikan Kaltim dalam rangkaian peringatan Hardiknas di Stadion Madya Sempaja. Perkembangan kecerdasan dan mental seorang anak atau IQ/EQ sering dirusak para orangtua karena cara mengasuh, membimbing, serta membina anak pada "usia keemasan" (nol sampai enam tahun) dengan cara yang salah, yakni sekadar bicara bukan dengan sikap/teladan.
     "Menurut para ahli, usia menyerap anak pada usia keemasan, yakni sampai enam tahun mencapai 70-80 persen, yang efektif dibina dengan cara sikap atau teladan orangtua, bukan hanya sekadar perintah atau bicara, jadi ibu-ibu jangan merusak kecerdasan dan mental anak kita akibat kesalahan kita sendiri, Kalau kita perintahkan anak belajar, sementara orangtuanya nonton TV, pasti anak tetap ikut nonton TV. Kalaupun kita paksa anak belajar, kemungkinan besar anak akan menangis, ya Susan ya!" kata Ria menatap "Susan"." kata Ria Enes dengan boneka lucu yang dipegang di tangan kanannya.
    "Sementara itu "Susan" mengiyakan apa yang dikatakan Ria. Bahkan, Susan juga mengatakan jika orangtua menyuruh belajar, maka orangtua juga harus memberi contoh belajar agar anak mau mengikutinya, kalau ibu menyuruh saya belajar, ibu juga harus belajar, jadi kita sama-sama belajar," kata Susan, sang boneka yang disambut tawa ibu-ibu dan bocah yang terlihat kagum melihat pertunjukan suara perut itu.
Ia menambahkan bahwa anak-anak butuh keteladanan dan contoh sikap tersebut bagi seorang anak akan tertanam kuat dalam benaknya sampai mereka dewasa nanti.
   "Jika sejak kecil anak sudah terbiasa melihat orangtuanya berbuat apa saja, baik itu shalat dan mengaji, maka hal itu akan mereka ingat terus. Namun, apabila ayah dan ibunya sering berkelahi, maka kebiasaan orangtua akan terekam pula dan bisa terbawa menjadi sikap keras mereka saat dewasa," kata Ria melalui sang boneka Susan.
     Di lain pihak, panitia Kumpul Seribu Bocah, Sutikno, yang juga salah seorang Kasi di Disdik Kaltim, mengatakan bahwa salah satu tujuan dilakukan acara tersebut adalah, selain memberikan penyegaran terhadap anak tentang hiburan yang dibawakan oleh Ria Enes, juga memberikan tambahan ilmu kepada orangtua yang mengantar anaknya.
     "Cara mendongeng dan menyanyi lebih cepat mereka terima, baik bagi anak-anak, maupun para orangtua yang hadir pada acara ini. Dalam rangkaian peringatan Hardiknas ini kita ingin mengisinya dengan hal yang benar-benar bermanfaat bagi dunia pendidikan, yakni melalui pesan moral ini, bukan sekadar hura-hura," imbuhnya.
      Ia menjelaskan bahwa pendidikan di sekolah sifatnya hanya dukungan bagi perkembangan anak, tetapi mempersiapkan generasi muda, yang menjadi aset bangsa itu, berawal dari rumah atau kehidupan keluarganya.
     "Ketika memasuki dunia sekolah di SD, usia keemasan anak itu sudah lewat karena masuk sekolah, batas usia sudah tujuh tahun," papar dia. Sebagai "orang pendidikan", ia juga mengharapkan agar cara mendidik anak melalui dongeng sebelum tidur sebenarnya cara sangat tepat selain melalui sikap/teladan orangtua.
"Misalnya, kita akan menceritakan tokoh-tokoh yang bijaksana, berbudi, serta orang-orang jahat. Jadi, pesan moral yang kita sampaikan di dalam dongeng termasuk cara pendidikan yang tepat. Namun, dengan perkembangan sekarang, anak kita manjakan dengan menonton TV dan game," kata dia.
Pihaknya berjanji bahwa, dalam peringatan Hardiknas di tahun-tahun yang akan datang, mereka terus mengisinya dengan berbagai acara yang benar-benar bermanfaat bagi dunia pendidikan, bukan sekadar acara seremonial dan hura-hura.
     Children raised by relatives face greater health risk (anak yang diasuh oleh kaum kerabat/bukan orangtuanya sendiri menghadapi resiko kesehatan yang lebih besar).
     Perkawinan dan berkeluarga adalah konsep purba yang sudah ada sejak zaman Adam dan Hawa. Karena sifatnya yang purba, beberapa prinsip dalam berkeluarga tetap berlaku dari dulu sampai kapanpun. Salah satu prinsip yang (menurut saya) tidak berubah adalah kewajiban pengasuhan anak yang ada di tangan orangtua.
Tidak dipungkiri memang ada prinsip yang berubah, misalnya posisi sebagai breadwinner (pencari nafkah) dan homemaker (ibu rumah tangga); kalau dulu lelaki berperan sebagai breadwinner dan perempuan sebagai homemaker, tapi sekarang dua-duanya sebagai breadwinner (dan pembantu sebagai homemaker, hehe). Walaupun demikian, saya yakin sidang pembaca sepakat dengan saya bahwa prinsip "mengasuh anak adalah kewajiban orangtua" tidak berubah sampai kapanpun.
    Rentak kehidupan "modern" memaksa ayah dan ibu untuk mencari nafkah di luar rumah. Seratus atau lima puluh tahun lalu mungkin cukup ayah saja yang bekerja di luar rumah dengan gaji yang cukup untuk hidup sekeluarga. Ibu bekerja di rumah mengasuh anak dengan penuh kasih sayang.
     Tapi saat ini?
Economy 101. Angka inflasi naik mengikuti garis logaritma, sedangkan gaji cuma naik mengikuti garis linear. Akibatnya, keluarga yang hidup di kota-kota besar harus mengandalkan pendapatan dari dua orang ayah dan ibu. Bagaimana dengan pengasuhan anak? Pembantu atau kaum kerabat adalah solusinya.
     Dalam jangka pendek, menyerahkan pengasuhan anak kepada pembantu dan kaum kerabat adalah solusi yang masuk akal. Pembantu tinggal di rumah kita, sehingga anak tetap akan merasa at home. Kalaupun dititipkan di rumah ibu mertua, kita merasa yakin ibu mertua akan menjaga anak kita seperti mereka dulu menjaga kita. Itu semua adalah justifikasi yang sengaja kita ciptakan untuk menghapus perasaan bersalah meninggalkan anak dari pagi buta sampai malam kelam.
    Satu lagi justifikasi: ayah-ibu membanting tulang bekerja untuk masa depan anak.
Dalam artikel yang judulnya dikutip di atas, terungkap bahwa anak yang dititipkan kepada orang lain (pembantu atau kaum kerabat) berpotensi mengalami gangguan kesehatan, baik jasmani maupun mental. Memang masuk akal, karena tidak ada seorangpun yang bisa mengasuh anak kita dengan kualitas asuhan terbaik selain kita sendiri, tidak peduli apakah dia itu pembantu dengan jam terbang 30 tahun atau ibu mertua kita.
    Karena anak kita adalah darah daging kita sendiri. Kita adalah orang yang paling memahami dia, yang paling bisa merasakan sakit dan gembiranya dia.
     Seratus tahun lalu dunia memang tidak glamour. Tidak ada shopping mall, tidak ada sinetron dan infotainment yang ditayangkan bertalu-talu, tidak ada video games, tetapi hidup yang simpel itu lebih bisa menjamin si anak tidak terputus suplai kasih sayang dari orangtuanya, 24 jam sehari 7 hari seminggu.
    Dunia sekarang lebih glamour, tetapi kemewahan itu harus dibayar mahal dengan hilangnya kasih sayang yang menjadi hak anak. Pembantu menjadi bisnis wangi karena sebuah keluarga "modern" pasti kolaps tanpa pembantu. Sepuluh atau dua puluh tahun dari sekarang, anak-anak produk pengasuhan pembantu dan ibu mertua akan menjadi pemimpin dan orang berpengaruh di lingkungan kita. Kualitas pribadi apa yang akan mereka tunjukkan? Kita tidak tahu.
   Kehidupan modern memang kejam. Jika ada mesin waktu, ingin rasanya kembali ke era seratus tahun lalu… 
    Psikolog Nur Janah Nitura mengatakan, anak yang diasuh kedua orangtuanya secara bersama-sama lebih cerdas dibandingkan anak yang hanya diasuh orangtua tunggal.
    "Anak yang diasuh oleh ibu bapaknya secara bersama-sama lebih cerdas dibandingkan anak yang hanya di asuh oleh ibu atau bapaknya saja," kata pimpinan Yayasan Psikodista itu di Banda Aceh.
    Nur Janah mengatakan, berdasarkan penelitian kecerdasan anak yang diasuh kedua orangtuanya mencapai 10-15 poin.
    Kecerdasan menurutnya adalah kemampuan belajar dari pengalaman dan penyesuaian dengan lingkungan. Kecerdasan terdiri dari kecerdasan linguistik yaitu kemampuan untuk berbicara atau menulis dengan baik.
    Selain itu juga kecerdasan logika matematika yaitu kemampuan untuk berpikir logis atau berhitung. Kecerdasan visual-spasial yaitu kemampuan untuk menggambar ruang, mengambil dan menciptakan gambar.
   Di samping itu juga terdapat kecerdasan musikal untuk menyusun komponen lagu, menyanyi dan bermain alat musik serta kecerdasan fisik kinestetik yaitu kemampuan untuk menggunakan tangan dan tubuh.
   Kecerdasan berupa interpersonal atau sosial yaitu kemampuan untuk menjalin hubungan dengan orang lain serta kecerdasan interpersonal atau intuisi yaitu kemampuan mengelola perasaan yang mendalam.
   Berbagai jenis kecerdasan itu harus seimbang dan diasah terutama oleh kedua orangtua, sehingga anak benar-benar tumbuh menjadi orang yang cerdas baik fisik maupun mental.

PENGERTIAN DAN KARAKTERISTIK KESEHATAN MENTAL (MENTAL HYGIENE)

Mental hygiene merujuk pada pengembangan dan aplikasi seperangkat prinsip-prinsip praktis yang diarahkan kepada pencapaian dan pemeliharaan unsur psikologis dan Pencegahan dari kemungkinan timbulnya kerusakan mental atau malajudjusment. Kesehatan mental terkait dengan 
(1) bagaimana kita memikirkan, merasakan menjalani kehidupan sehari-hari;
 (2) bagaimana kita memandang diri sendiri dan sendiri dan orang lain; dan
 (3) bagaimana kita mengevaluasi berbagai alternatif dan mengambil keputusan. Seperti halnya kesehatan fisik, kesehatan mental sangat penting bagi setiap fase kehidupan. kesehatan mental meliputi upaya-upaya mengatasi stres, berhubungan dengan orang lain, dan mengambil keputusan.
Kesehatan mental tertentang dari yang baik sampai dengan yang buruk, dan setiap orang akan mengalaminya. tidak sedikit orang, pada waktu-waktu tertentu mengalami masalah-masalah kesehatan mental selama rentang kehidupannya. Fungsi-fungsi jiwa seperti pikiran, perasaan, sikap, pandangan dan keyakinan hidup, harus dapat saling membantu dan bekerjasama satu sama lain sehingga dapat dikatakan adanya keharmonisan yang menjauhkan orang dari perasaan ragu dan terhindar dari kegelisahan dan pertentangan batin (konflik).
  1. Hadfield : ”upaya memeliharaan mental yang sehat dan mencegah agar mentak tidak sakit”. 
  2. Alexander Schneiders : ”suatu seni yang praktis dalam mengembangkan dan menggunakan prinsip-prinsip yang berhubungan dengan kesehatan mental dan penyesuaian diri, serta pencegahan dari gangguan-gangguan psikologis”. 
  3. Carl Witherington : ”ilmu pemeliharaan kesehatan mental atau sistem tentang prinsip, metode, dan teknik dalam mengembangkan mental yang sehat”.
KARAKTERISTIK MENTAL YANG SEHAT
1. Terhindar dari Gangguan Jiwa
Zakiyah Daradjat (1975) mengemukakan perbedaan antara gangguan jiwa (neurose) dengan penyakit jiwa (psikose), yaitu:
  1. Neurose masih mengetahui dan merasakan kesukarannya, sebaliknya yang kena psikose tidak. 
  2. Neurose kepribadiannya tidak jauh dari realitas dan masih hidup dalam alam kenyataan pada umumnya. sedangkan yang kena psikose kepribadiaannya dari segala segi (tanggapan, perasaan/emosi, dan dorongan-dorongan) sangat terganggu, tidak ada integritas, dan ia hidup jauh dari alam kenyataan.
2. Dapat menyesuaikan diri
Penyesuaian diri (self adjustment) merupakan proses untuk memperoleh/ memenuhi kebutuhan (needs satisfaction), dan mengatasi stres, konflik, frustasi, serta masalah-masalah tertentu dengan cara-cara tertentu. Seseorang dapat dikatakan memiliki penyesuaian diri yang normal apabila dia mampu memenuhi kebutuhan dan mengatasi masalahnya secara wajar, tidak merugikan diri sendiri dan lingkungannya, serta sesuai denagn norma agama.
3. Memanfaatkan potensi semaksimal mungkin
Individu yang sehat mentalnya adalah yang mampu memanfaatkan potensi yang dimilikinya, dalam kegiatan-kegiatan yang positif dan konstruktif bagi pengembangan kualitas dirinya. pemanfaatan itu seperti dalam kegiatan-kegiatan belajar (dirumah, sekolah atau dilingkungan masyarakat), bekerja, berorganisasi, pengembangan hobi, dan berolahraga.
4. Tercapai kebahagiaan pribadi dan orang lain
Orang yang sehat mentalnya menampilkan perilaku atau respon-responnya terhadap situasi dalam memenuhi kebutuhannya, memberikan dampak yang positif bagi dirinya dan atau orang lain. dia mempunyai prinsip bahwa tidak mengorbankan hak orang lain demi kepentingan dirnya sendiri di atas kerugian orang lain. Segala aktivitasnya di tujukan untuk mencapai kebahagiaan bersama.